SANG PEMIKIR |
Kerja keras untuk disiplin saja udah repot, gak ada tempat di hidup saya untuk merugikan diri sendiri. Saya gak suka self sabotage.”
Saya berasal dari keluarga kelas menengah, secara ekonomi. Banyak yang tidak mengetahui bahwa saya bukanlah berasal dari keluarga kaya raya. Namun orang tua saya memberi saya pendidikan formal yang terbaik yang bisa mereka lakukan. Dan pendidikan nonformal terbaik yang bisa mereka berikan, yaitu mendidik dan membentuk mental saya, kecerdasan saya di berbagai sisi. Sayapun memutuskan untuk tidak merusak apa yang mereka berikan.
Mereka mendidik saya dengan superkeras - menurut saya. Menurut saya juga, dulu, jika saya kurang cerdas dalam bertindak, bisa saja ‘melenceng’ dan menyia-nyiakan semua pendidikan yang diberikan orang tua saya. Menurut saya lagi, seorang anak, jika terlalu keras dididiknya, bisa ‘mental’. Mentalnya bisa ke berbagai hal misalnya memakai narkoba. Namun sejak kecil, saking kerasnya didikan orang tua saya, saya berpikir akan sangat luar biasa bodoh kalau perjuangan saya untuk mengikuti semua disiplin yang ditanam tersebut saya rusak sendiri dengan melakukan dengan hal-hal konyol misalnya seperti narkoba atau hal lainnya. Itu hanya menambah masalah baru di hidup saya yang sudah penuh dijejalkan disiplin.
So, sejak kecil, hingga remaja, hingga masa kuliah, hingga sekarang dan sampai kapanpun, saya gak mau bertindak untuk sesuatu yang merugikan saya. Rugi deh! Kan manusia bukan mahluk lemah. Toh, kita bisa punya akal untuk tidak merugikan diri sendiri. Kerja keras untuk disiplin saja udah repot, gak ada tempat di hidup saya untuk merugikan diri sendiri. Saya gak suka self sabotage.
“
Sekarang buat saya kata IMPOSSIBLE itu di mata saya berarti: I - M – POSSIBLE.”
Dengan disiplin keras, saya tumbuh menjadi seseorang yang menghargai proses. Menghargai apa yang disebut membangun hidup dari nol. Saya di didik tidak memakai barang mewah atau barang yang tidak layak dipakai. Saya mengingat bahwa saat saya menempuh jenjang pendidikan belum mempunyai penghasilan, walaupun banyak teman saya memakai barang yang lebih mewah dari yang saya pakai, atau lebih sering beli ini itu di banding saya selama masa pendidikan tersebut.
Saya juga dididik mensyukuri dan merawat apapun yang saya miliki dan keluarga saya miliki. Dari hal tersebutlah saya juga belajar mensyukuri dan merawat diri saya, tempat saya tinggal, lingkungan saya bahkan seluruh isi alam semesta. Semua berkaitan bukan? Seseorang yang tidak menghargai dirinya, akan susah menghargai tempat tinggalnya, apalagi lingkungan dan alam semestanya.
Saya dididik menghargai hak pribadi/privacy orang lain. Sampai detik ini, orang tua saya tidak pernah tidak menghargai privacy saya. Apa yang menjadi milik saya adalah hak saya. Mulai dari hal kecil sekalipun, orang tua saya bahkan selalu meminta ijin untuk memakai barang saya. Dengan demikian mereka mendidik saya menghargai hak pribadi/privacy siapapun, mulai dari keluarga, hingga ke masyarakat. Saya tumbuh menjadi seseorang yang mengerti apa itu privacy, yang sesungguhnya adalah hak asasi manusia.
Saya selalu diajarkan dan diberi semangat, bahwa saya bisa menjadi apa saja yang saya mau. Dan mereka yakin saya mampu. Sayapun jadi yakin. Saya sangat percaya dengan kemampuan saya. Namun itu tidak didapat sekonyong-konyong,bukan? Disiplin, pengorbanan, komitmen dan dedikasi yang selalu menjadi yang terbaik dari diri saya harus selalu saya lakukan. Itupun yang mereka tuntut dari saya. Saya pun belajar konsekuensi atas mempunyai impian. Impian itu indah, tapi saat kita mewujudkannya ke dunia nyata, banyak hal menyakitkan dalam prosesnya.
Disanalah saya belajar, rasa sakit adalah bagian dari tumbuh kembangnya seseorang dalam hidup. Saya diberikan berbagai ‘kesulitan’ dalam bentuk berjuta tantangan dari orang tua saya.Mereka memberi berbagai larangan, halangan, hambatan, perlawanan, untuk mewujudkan impian saya. Mereka membuat saya fighter. Mereka membuat saya menjadi manusia yang membuka membangun jalannya sendiri. Bukan manusia yang memakai ‘jalan’ yang sudah ada.
Dalam perjalanan hidup, rasanya orangtua saya tidak pernah bilang “kamu tidak mampu” (semoga aku tidak ke ge- er’an ya Mah, Pah... Kalian gak pernah kan bilang ini ke aku?). Karena mereka menanamkan sisi pejuang di dalam diri saya, mereka menumbuhkan pandangan di diri saya bahwa IMPOSSIBLE IS NOTHING. Bahwa di dunia, tidak ada yang tidak mungkin.
Pertanyaannya:
* Seberapa siap kita rela berjuang untuk mencapai tujuan hidup kita ?
* Seberapa siap kita harus jatuh bangun untuk mewujudkan impian kita?
* Seberapa siap kita ‘berdarah-darah’ menjalani perjuangan untuk cita-cita kita ?
* Seberapa siap kita merasakan kesepian dalam perjalanan khidupan kita ?
* Seberapa siap kita dianggap aneh dan tidak dimengerti banyak orang untuk mencapai cita-cita dan keinginan kita
Now, I almost earned each and every single thing I dreamed in life.
"Sekarang buat saya kata IMPOSSIBLE itu di mata saya berarti: I - M – POSSIBLE."
Tulisan ini, hanya untuk berbagi, BUKAN untuk mengagumi diri seniri. Bahwa apa yang terlihat indah sering sekali diperoleh dengan rasa sakit dalam berproses. Rasa sakit tidak menentukan kesuksesan seseorang dalam meraih tujuan hidupnya. Tapi rasa sakit adalah hal normal dalam mencapai tujuan kita. Bahkan rasa sakit itu sendiri adalah bagian dari kehidupan sejak kita bayi. Jika kita bisa minimalisasikan hal tersebut, bagus. Namun perjuangan selalu ada harganya, bukan?_
Tulisan ini juga untuk mengabadikan dan membagi kepada siapapun yang membaca ini, nilai apa saja yang diberikan orang tua saya kepada saya. Karena buat saya, mereka adalah orang tua saya yang sangat hebat. Saya mencintai dan akan selalu menyayangi mereka smpai akhir khayat ku . Dan nilai-nilai ini akan selalu ada di dalam diri saya sampai kapanpun. Nilai yang relevan dengan sifat natural dari kehidupan.
I love you Mamah. I love you Papah. ({tanpa di duga, pas sekali saat saya mengetik ini taiba-tiba hp saya berbunyi ternyata mama SMS. Haha.. Berasa ya Ma, lagi di pikiranku}),, heheehee..
Terimakasih telah membagi nilai kehidupan yang membuatku berpijak diatas landasan yang kuat.
I stand on a strong ground.
A little note from me:
Take care of our ground. It is where we stand.
** have fun **
0 komentar:
Post a Comment